Total Tayangan Halaman

Sabtu, 27 Agustus 2011

Belida


Belida - Clown Knifefish (Notopterus chitala)
KETIKA ruang telah kosong dan lampu-lampu dipadamkan, sepasang belida keluar dari balik "panggung" dan mulai "menari". Tubuh mereka yang lentur meliuk-liuk di antara tanaman air.

Dalam gelap, mata mereka seperti mata kucing menatap calon mangsanya dan...hap... ikan-ikan kecil pun disergap.
Mereka terus menari. Dalam mitos orang-orang Tionghoa Perantauan (Hoa Kiau), tarian para penari malam dan kecipak air yang mereka timbulkan memancarkan kekuatan magis untuk menolak bala.

Akan tetapi entah mengapa, orang-orang Muara Enim, Sumatera Selatan (Sumsel), menamakan ikan itu belida. Artinya makhluk yang pandai berdiplomasi (be = punya, lida = lidah, pandai bersilat lidah). Sebagian orang-orang tua Muara Enim yang bermarga Belida percaya, mereka keturunan ikan belida yang magis dan berwibawa itu.
MESKI sama-sama tergolong ikan purba, diperkirakan usia belida sedikit lebih muda dari arwana yang lebih populer di pasar ikan hias.

"Usia bisa diperkirakan lewat usia mitos tentang mereka. Makin tua usia mitosnya, makin tua kemungkinan usia ikan itu. Mitos tentang belida atau Notopterus chitala sedikit di belakang mitos arwana," tutur Peneliti Balai Riset Perikanan Perairan Umum Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Mas Tri Djoko Sunarno.

Dilihat dari bentuk mulut yang sama-sama mengarah ke atas, mulut arwana lebih menjorok ke atas dibanding belida. Dari situ disimpulkan, usia arwana diperkirakan lebih tua.
Awalnya belida tersebar di kawasan Asia Tenggara dan India. Di Indonesia belida hidup di anak-anak sungai besar yang bersebelahan dengan daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa terutama Jawa Barat.

Karena sulitnya proses pemijahan, perubahan lingkungan alam, serta eksploitasi yang berlebihan, populasi ikan karnivora ini merosot drastis.
Di Sumsel hanya sampai awal 1980-an belida mudah ditemukan di anak Sungai Musi seperti Sungai Arisan Belida dan Sungai Meriak.
Sampai 1998, di Sungai Citarum, Jawa Barat, jumlahnya masih enam ton, tapi setahun kemudian tak seekor pun ditemukan.

DIBANDINGKAN ikan lain, belida lebih sulit berkembang. Di samping lebih sedikit memproduksi telur, ikan ini memiliki banyak musuh seperti ikan gabus, ular, dan biawak.
Menurut Tri Djoko, jumlah telurnya cuma 1.000-6.000 butir atau maksimal lima persen dari berat tubuh ikan betina. Bandingkan dengan jumlah telur ikan mas yang bisa 20 persen dari berat tubuhnya.

"Memang 90 persen dari jumlah telur tersebut menetas, tapi yang kelak menjadi dewasa dan siap kawin cuma satu persen," papar Tri Djoko.
Pemangsa kalajengking, kodok, dan ikan-ikan kecil ini hidup di kedalaman 2-3 meter di tempat-tempat gelap. Saat air sungai meluap, mereka naik ke rawa-rawa untuk kawin dan melepas telurnya di sana.

Pasangan belida yang siap kawin berusia dua tahun untuk jantan dan tiga tahun yang betina. Pada usia itu, pasangan tersebut memiliki panjang tubuh 40-50 sentimeter dan berat di atas dua kilogram. Belida kawin secara massal.
DI lingkungan para penggemar dan pedagang ikan hias, belida asli nyaris tak dikenal dibanding belida bangkok hasil pemuliaan.

Ada dua jenis belida bangkok yang beredar di pasaran. Satu berwarna abu-abu keperakan, lainnya albino. Keduanya memiliki belang hitam dengan garis tepian putih. "Makin banyak belangnya, makin banyak dicari orang," tutur Eka Surya, pemilik Mawar Aquarium di Meruya Selatan, Jakarta Barat.

Harga sepasang belida bangkok berukuran 20 sentimeter saat ini Rp 30 ribu, sedangkan yang sudah dewasa dengan panjang 50 sentimeter dan berat badan delapan kilogram mencapai Rp 400.000. "Sebagai ikan hias belida bangkok pernah populer. Tahun 1995-1997 saya mampu menjual minimal 100 ekor per bulan," ujar Eka Surya.

Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Muara Enim Abdul Nadjib mengatakan, permintaan belida sebagai ikan konsumsi di Sumsel dan sekitarnya masih sangat tinggi.
"Saat ini di Palembang, permintaan home industry makanan khas daerah akan belida 5 kg/hari. Padahal sekurangnya ada 40 home industry. Belum lagi permintaan pasar-pasar tradisional di Palembang. Pasar Cinde saja butuh 40 kg per harinya, padahal nelayan cuma mampu memasok kurang dari dua persen," ujarnya.

Karena itu pula belida diupayakan budidayanya melalui tambak-tambak seperti di Agro Tekno Park.

Duku


Buah duku ( Lansium Domesticum Corr) berasal dari tanaman berkayu yang hidup menahun. Pohonnya diperkirakan asli dari Indonesia. Literatur lain mengatakan duku berasal dari Asia Tenggara bagian barat, dari semenanjung Thailand di sebelah barat sampai Kalimantan di sebelah timur. Kini buah duku hampir tersebar luas diseluruh wilayah Asia dan menjadi salah satu primadona buah tropis.
Di Indonesia, sentra buah duku tersebar luas di wilayah Sumatra dan Jawa. Jenis yang banyak dibudidayakan adalah varietas Komering, Metesih, Condet dan Kalikajar. Buah duku dapat tumbuh subur di daerah beriklim basah dengan curah hujan tinggi. Tanaman ini termasuk jenis pohon buah musiman yang hanya berbuah setahun sekali. Biasanya bunga akan bermunculan di awal musim hujan (September-Oktober). Enam bulan kemudian buah terlihat bergelantungan di ranting dahan dan siap dipanen pada bulan Februari-Maret.

Buah duku mentah berwarna hijau, bergetah dan citarasanya sangat asam. Seiring matangnya buah, kulit akan berubah kekuningan dan daging buah akan berasa manis. Sebagian besar buah duku hanya dimakan segar sebagai buah meja. Padahal kalau kita mau sedikit berkreasi, duku dapat dijadikan beragam sajian lezat dan nikmat, seperti untuk isi puding, campuran fruits cocktail atau sebagai bahan baku selai.

Dari Selai Hingga Puding Cantik
Untuk selai, siapkan 1500 gr daging buah duku yang sudah diblender halus, 600 gr gula pasir, 100 ml air, 5 gr gelatin, 30 ml air jeruk lemon dan ½ sdt vanila essens. Semua bahan dicampur jadi satu, panaskan hingga tekstur mengental dan warna kekuningan. Selagi panas simpan di dalam botol kaca, tutup rapat, kini Anda mempunyai selai duku yang lezat dan siap digunakan kapan saja.
Variasi lain yang dapat dibuat adalah puding buah. Caranya buah duku dapat diblender kemudian dicampur dengan adonan agar-agar atau dibiarkan utuh untuk isi puding. Teksturnya kenyal dengan citarasa manis, segar dan sedikit asam menjadikan puding terasa lebih istimewa dan cantik tampilanya.

Sumber Mineral dan Zat Besi
Dilihat dari komposisi zat gizinya, buah duku tidak terlalu mengcewakan. Setiap 100 gr buah duku terkandung kalori 70 kal, protein 1.0 g, lemak 0.2 g, karbohidrat 13 g, mineral 0.7 g, kalsium 18 mg, fosfor 9 mg dan zat besi 0.9 mg. Untuk kandungan kalori, mineral dan zat besi duku setingkat lebih tinggi dibandingkan dengan buah apel atau jeruk manis. Kandungan lain yang bermanfaat adalah dietary fiber atau serat. Salah satu zat yang bermanfaat untuk memperlancar sistem pencernaan, mencegah kanker kolon dan membersihkan tubuh dari radikal bebas penyebab kanker.

Selain daging buah yang segar menyehatkan, bagian kulit buah dan bijinya juga bermanfaat untuk bahan baku obat anti diare dan menurunkan demam. Kulit kayunya juga sering digunakan orang untuk mengobati gigitan serangga berbisa dan obat disentri. Sebagian orang juga percaya, benalu pohon duku dapat menghambat dan membasmi sel-sel kanker. Sungguh tanaman yang istimewa bukan?.

Sumber: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1727542-manfaat-buah-duku-dari-diare/#ixzz1WEN5FcxB

Srindit

Di rumah saya, sekarang ini sering terdengar suara dencing yang semula oleh isteri saya dikira suara celurut. Padahal itu adalah suara burung srindit atau serindit. Burung itu saya bawa dari tempat Om Dwi Lovebird Jogja untuk memaster murai batu.

Suaranya memang mengasyikkan dan menggairahkan hehehe. Dencing suara serindit jika bisa masuk ke suara murai batu, tentu akan menjadikan suara si murai jadi dahsyat. Sebab, dencing suara serindit yang dibawakan murai batu tentu akan beberapa kali lebih keras ketimbang dibawakan oleh srindit sendiri.

Serindit paruh hitam itu (ada serindit paruh merah yang biasanya berkembang biak di Jawa) diperoleh Om Dwi dari Om Robby Alamsyah yang mukim di Balikpapan. Seingat saya ada enam ekor serindit di tempat Om Dwi dan sepasang di antaranya itulah yang saya bawa ke Solo. Dan di rumah, saat ini menjadi suara masteran favorite saya.

Serindit termasuk animalia dengan filum chordata, kelas aves, ordo psittaciformes, keluarga Psittacidae atau burung paruh bengkok dengan genus Loriculus. Burung-burung genus Loricus berukuran kecil ini secara umum hidup tersebar di hutan tropis di Asia Tenggara.

Burung serindit umumnya memiliki bulu berwarna hijau dengan ekor yang pendek. Dalam genus ini, ada banyak spesies. Antara lain adalah sebagai berikut:

* Loriculus vernalis
* Loriculus beryllinus
* Loriculus philippensis
* Loriculus galgulus, Serindit Melayu
* Loriculus stigmatus, Serindit Sulawesi
* Loriculus amabilis, Serindit Maluku
* Loriculus sclateri
* Loriculus catamene, Serindit Sangihe
* Loriculus aurantiifrons, Serindit Papua
* Loriculus tener
* Loriculus exilis, Serindit Paruh-merah
* Loriculus pusillus, Serindit Jawa
* Loriculus flosculus, Serindit Flores

Burung favorit
Burung yang punya nama lain Sindit dan Seindit ini di wilayah tertentu di Indonesia, menjadi burung klangenan atau burung favorit.

Bagi orang melayu Riau misalnya, Serindit sudah lama dimitoskan bahkan diabadikan dalam berbagai cerita rakyat dan dijadikan lambang-lambang: kebijaksanaan, keindahan, keberanian, kesetiaan, kerendahan hati maupun lambang kearifan. Beragamnya lambang dan mitos yang berkaitan dengan Serindit, menyebabkan unsur burung ini dimasukkan pula ke dalam lambang Propinsi Riau, yakni pada “Hulu Keris” yang disebut “Hulu Keris Kepala Serindit”, yang melambangkan keberanian, arif dan bijaksana di dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Keris sebagai bagian pakaian lengkap adat Riau, hulunya yang bermotif Serindit.

Di dalam cerita-cerita rakyat Riau, terutama kisah mengenai dunia fauna, burung ini disebut dengan gelar “Panglima Hijau”. Di dalam kehidupan orang Melayu Riau, sangkar berisi Serindit digantungkan di bagian depan rumah, tidak jauh dari ambang pintu muka. Penempatan ini dikaitkan pula dengan adanya kepercayaan, bahwa Serindit dapat menolak “sihir”, “penyakit ayan” dan sebagainya.

Ciri-ciri

Serindit bentuknya seperti burung parkit, tetapi ekornya pendek. Bulu sayapnya berwarna hijau tua, dan pada ujungnya terdapat warna merah dan hitam. Badannya berwarna hijau muda bercampur kekuning-kuningan,
sedangkan punggungnya terdapat warna kuning dan kecoklatan. Ekor herwarna hijau tua bercampur dengan merah dan hitam. Paruhnya berwama hitam, sedangkan di puncak kepalanya terdapat warna biru. Serindit
jantan pada bagian atas dadanya terdapat warna merah berbentuk bulatan, sedangkan pada Serindit betina warnanya hijau kekuningan.

Perbedaan warna di bagian atas dada inilah yang memudahkan orang menentukan apakah serindit itu jantan atau betina. Jari-jarinya berjumlah empat buah. Burung ini relatif bertubuh kecil, sifatnya lincah dan pemberani, terutama yang jantannya. Seperti burung lain dari kelompok ini, jenis ini mempunyai kebiasaan aneh menggantung ke bawah pada waktu tidur.

Habitat

Serindit hidup di hutan-hutan lebat, selalu berkelompok dan berpasangan. Di daerah Riau, populasi Serindit yang terbesar adalah di daerah daratan Sumatera, sedangkan di kepulauan Riau, walaupun ada (umumya di pulau-pulau besar yang berhutan lebat) jumlahnya tidaklah banyak.

Daerah penyebarannya adalah Semenanjung Melayu, Singapura, Kep. Anamba Kalimantan, Kep. Riau, Bangka dan Belitung, Sumatera dan pulau- pulau seperti Nias, Siberut, Sipora dan Enggano.

Makanan

Makanannya terdiri dari nektar, bunga, buah-buahan, biji-bijian dan kemungkinan serangga kecil.

Perkembangbiakan

Musim berkembangbiak antara bulan Januari dan Juli. Sarangnya di lubang pohon yang hidup atau yang sudah mati. Sarangnya terletak sekitar 12 m dari atas tanah. Diameter lubang sarang berukuran kira-kira 8 cm. Kedalaman sarangnya sekitar 45 cm dengan lebar 30 cm. Alas sarang terdiri dari daundaun. Betina membawa bahan untuk sarang dengan cara diselipkan pada bulubulu tunggingnya. Jumlah telurnya rata-rata 3 butir. Telur tersebut menetas setelah dierami selama 3 – 4 minggu.

Nibung


Nibung (Oncosperma tigillarium syn. O. filamentosum) adalah sejenis palma yang tumbuh di rawa-rawa Asia Tenggara, mulai dari Indocina hingga Kalimantan.

Tumbuhan ini berupa pohon dengan bentuk khas palma: batang tidak atau jarang bercabang, dapat mencapai 25m, dapat memunculkan anakan yang rapat, membentuk kumpulan hingga 50 batang. Batang dan daunnya terlindungi oleh duri keras panjang berwarna hitam. Daunnya tersusun majemuk menyirip tunggal (pinnatus) yang berkesan dekoratif.

Kayu nibung sangat tahan lapuk sehingga dipakai untuk penyangga rumah-rumah di tepi sungai di Sumatera dan Kalimantan. Temuan arkeologi di daerah Jambi menunjukkan sisa-sisa penyangga rumah dari kayu ini di atas tanah gambut dari perkampungan abad ke-11 hingga ke-13. [1] Kayunya juga dipakai untuk jala ikan (di Kalimantan).

Nibung adalah tumbuhan indentitas Provinsi Riau.

Beruang Madu


Beruang madu termasuk famili ursidae dan merupakan jenis paling kecil dari kedelapan jenis beruang yang ada di dunia. Beruang ini adalah fauna khas provinsi Bengkulu sekaligus dipakai sebagai simbol dari provinsi tersebut. Beruang madu juga merupakan maskot dari kota Balikpapan. Beruang madu di Balikpapan dikonservasi di sebuah hutan lindung bernama Hutan Lindung Sungai Wain.

Fisik

Panjang tubuhnya 1,40 m, tinggi punggungnya 70 cm dengan berat berkisar 50 - 65 kg.Bulu beruang madu cenderung pendek, berkilau dan pada umumnya hitam, matanya berwarna cokelat atau biru,selain itu hidungnya relatif lebar tetapi tidak terlalu moncong.Jenis bulu beruang madu adalah yang paling pendek dan halus dibandingkan beruang lainnya, berwarna hitam kelam atau hitam kecoklatan, di bawah bulu lehernya terdapat tanda yang unik berwarna oranye yang dipercaya menggambarkan matahari terbit.Berbeda dengan beruang madu dewasa, bayi beruang madu yang baru lahir memiliki bulu yang lebih lembut, tipis dan bersinar. Karena hidupnya di pepohonan maka telapak kaki beruang ini tidak berbulu sehingga ia dapat bergerak dengan kecepatan hingga 48 kilometer per jam dan memiliki tenaga yang sangat kuat. Kepala beruang madu relatif besar sehingga menyerupai anjing yakni memiliki telinga kecil dan berbentuk bundar. Beruang jenis ini memiliki lidah yang sangat panjang dan dapat dipanjangkan sesuai dengan kondisi alam untuk menyarikan madu dari sarang lebah di pepohonan.Selain itu, lidah yang panjangnya dapat melebihi 25 cm itu juga digunakan untuk menangkap serangga kecil di batang pohon. Beruang madu memiliki penciuaman yang sangat tajam dan memiliki kuku yang panjang di keempat lengannya yang digunakan untuk mempermudah mencari makanan.Beruang madu lebih sering berjalan dengan empat kaki, dan sangat jarang berjalan dengan dua kaki seperti manusia. Lengan beruang jenis ini cukup lebar dan memiliki kuku melengkung serta berlubang yang memudahkannya memanjat pohon. Kuku tangan yang melengkung digunakan oleh beruang ini untuk menggali rayap, semut dan sarang lebah dan beruang yang sedang mencari madu akan segera menghancurkan kayu yang masih hidup dan segar dan bahkan berusaha untuk menggaruk pohon yang kayunya keras.Rahang beruang madu tidak proporsional karena terlalu besar sehingga tidak dapat memecahkan buah-buah besar seperti kelapa. Gigi beruang ini lebih datar dan merata dibandingkan dengan jenis beruang lain, gigi taringnya cukup panjang sehingga menonjol keluar dari mulut. Ukuran tulang tengkorak kepala beruang madu pada umunya memiliki panjang tengkorak 264,5 mm, panjang condylobasal 241,3 mm, lebar zygomatic 214,6 mm, lebar mastoid 170,2 mm, lebar interorbital 70,5 mm, lebar maxilla 76,2 mm.

Habitat
Beruang madu hidup di hutan hujan tropis sekitar Asia

Beruang madu hidup di hutan-hutan primer, hutan sekunder dan sering juga di lahan-lahan pertanian, mereka biasanya berada di pohon pada ketinggian 2 - 7 meter dari tanah, dan suka mematahkan cabang-cabang pohon atau membuatnya melengkung untuk membuat sarang.Habitat beruang madu terdapat di daerah hujan tropis Asia Tenggara.Penyebarannya terdapat di pulau Borneo,Sumatera,Indocina, Cina Selatan,Burma, serta Semenanjung malaya.Oleh karena itulah jenis ini tidak memerlukan masa hibernasi seperti beruang lain yang tinggal di wilayah empat musim.Beruang madu di masa lalu diketahui tersebar hampir di seluruh benua Asia, namun sekarang menjadi semakin jarang akibat kehilangan dan fragmentasi habitat.

Makanan

Beruang madu adalah binatang omnivora yang memakan apa saja di hutan. Mereka memakan aneka buah-buahan dan tanaman hutan hujan tropis, termasuk juga tunas tanaman jenis palem. Mereka juga memakan serangga, madu, burung, dan binatang kecil lainnya. Apabila beruang madu memakan buah, biji ditelan utuh, sehingga tidak rusak, setelah buang air besar, biji yang ada di dalam kotoran mulai tumbuh sehingga beruang madu mempunyai peran yang sangat penting sebagai penyebar tumbuhan buah berbiji besar seperti cempedak, durian, lahung, kerantungan dan banyak jenis lain. Pada wilayah yang telah diganggu oleh manusia, mereka akan merusak lahan pertanian, menghancurkan pisang, pepaya atau tanaman kebun lainnya.

Beruang madu aktif di malam hari atau disebut juga dengan makhluk nokturnal, mereka menghabiskan waktu di tanah dan memanjat pepohonan untuk mencari makanan.Kecuali betina dengan anaknya, beruang madu umumnya bersifat soliter. Mereka tidak berhibernasi sebagaimana spesies beruang lainnya karena sumber pakannya tersedia sepanjang tahun.Dalam satu hari seekor beruang madu berjalan rata-rata 8 km untuk mencari makanannya.Perilaku beruang madu yakni menggali dan membongkar juga bermanfaat untuk mempercepat proses penguraian dan daur ulang yang sangat penting untuk hutan hujan tropis.Beruang madu juga sangat berperan dalam meregenerasi hutan sebagai penyebar biji buah-buahan, dan terkenal sebagai pemanjat pohon yang ulung. Sifatnya pemalu, hidup penyendiri, aktif di siang hari dengan kebutuhan wilayah jelajah yang luas.

Perkembangbiakan

Beruang madu tidak mempunyai musim kawin tetapi perkawinan dilakukan sewaktu-waktu terutama bila beruang madu betina telah siap kawin. Lama mengandung beruang betina adalah 95-96 hari, anak yang dilahirkan biasanya berjumlah dua ekor dan disusui selama 18 bulan. Terkadang, beruang betina hanya terlihat dengan satu bayi dan sangat jarang ditemukan membawa dua bayi setelah masa kehamilannya. Hal ini sangat dimungkinkan karena beruang madu sengaja menunda perkawinan untuk mengupayakan agar bayi terlahir saat induk memiliki berat badan yang cukup, cuaca yang sesuai serta makanan tersedia dalam jumlah yang memadai. Beruang melahirkan di sarang yang berbentuk gua atau lubang pepohonan dimana bayi yang terlahir tanpa bulu dan masih sangat lemah dapat bertahan hidup. Bayi akan tetap tinggal di sarang sampai ia mampu berjalan bersama induknya mencari makanan. Bayi beruang madu di duga hidup bersama induknya hingga berusia dua tahun dan kemudian mulai hidup secara mandiri.

Ancaman terhadap beruang madu

Beruang madu telah dikategorikan sebagai binatang yang mudah di serang dan terancam kelangsungan hidupnya. Hal ini disebabkan oleh pengerusakan habitat yang berlangsung terus-menerus. Ancaman terbesar bagi beruang madu memang semakin hilangnya habitat yang berupa hutan hujan tropis , termasuk diantaranya fragmentasi hutan dan degradasi hutan yang disebabkan oleh perilaku manusia berupa pembalakan hutan secara liar serta penebangan hutan untuk keperluan perkebunan karet, kelapa sawit serta kopi. Ancaman lain bagi beruang madu adalah adanya perburuan, baik dikawasan perlindungan maupun di luar kawasan perlindungan, bagian tubuh beruang madu seperti katung empedu serta cairannya banyak diperdagangkan secara gelap untuk memenuhi permintaan pasar pengobatan tradisional. Selain itu, konflik yang terjadi antara manusia dengan beruang madu terkait dengan perusakan wilayah pertanian juga merupakan ancaman bagi beruang jenis ini. Bencana alam seperti kebakaran hutan turut memengaruhi kelangsungan hidup beruang madu karena berhubungan erat dengan kelestarian habitat serta ketersediaan makanan.

Konservasi

Konservasi beruang madu masih sangat jarang dilakukan. Beruang ini telah terdaftar dalam Appendix I of the Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) sejak tahun 1979 yang menyatakan bahwa mereka tidak boleh diburu oleh siapapun. Penelitian lebih lanjut mengenai beruang madu sedang dilakukan, khususnya tentang dasar-dasar biologis, ekologi, serta perilakunya. Konservasi beruang madu perlu difokuskan pada perlindungan terhadap habitat hutan, manajemen yang baik terhadap bidang perlindungan beruang madu, supremasi hukum yang tegas terkait dengan pelanggaran terhadap perlindungan beruang madu, menghentikan perdagangan anggota tubuh beruang, serta mengurangi konflik antara manusia dan beruang madu di wilayah hutan.